Rabu, 10 Agustus 2011


MAKALAH PEMASARAN KOPI ARABIKA DI INDONESIA
TUGAS MATA KULIAH EKONOMI SUMBER DAYA ALAM
DOSEN : WINI. F.W , ST



DISUSUN OLEH : JAENUDIN
NPM : A1B. 08. 0104



FAKULTAS PERTANIAN – JURUSAN AGRIBISNIS
UNIVERSITAS BALE BANDUNG
2011

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah serta karunia-nya yang telah memberikan pengetahuan dan kekuatan lahir batin sehingga penulis dapat menjalani dan menyelesaikan tugas mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Alam, jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Bale Bandung. Atas karunia-Nya pula penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Pemasaran Kopi Arabika (Coffea arabica) di Indonesia”
Ucapan terima kasih tak terhingga kepada semua orang yang selalu menjadi orang terpenting dalam hidup penulis, atas semua cinta, kasih sayang, dukungan dan motivasinya.
Tak lupa kepada ibu dosen mata kuliah yang sangat saya hormati dan saya cintai , rekan-rekan komunitas capek rahem in facebook group, dan mesin pencari Google yang sangat membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan semoga karya tulis ini dapat dipergunakan dan bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih
Karawang,  Agustus 2011


J A E N U D I N







BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
 Kopi arabika sebagai salah satu komoditas ekspor perkebunan, telah menjadi sumber pendapatan bagi para petani, para pengusaha, juga para karyawan perkebunan-perkebunan kopi. Menurut Assosiasi Eksportir Kopi Indonesia pada tahun 2007, kopi arabika yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 20.113.261 dari ekspor kopi sebesar 6.677.055 kg. Tercatat pada tahun 2008, komoditas kopi mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 25.235.339 dengan volume ekspor sebesar 7.062.966 kg.

Tabel 1. Data Realisasi Ekspor Kopi Arabika Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009

 No
Tahun
2001 – 2008
Volume (kg)
Nilai (USD)
1
2001
783.700
1.305.428
2
2002
7.818.100
14.755.230
3
2003
6.438.140
11.682.805
4
2004
4.863.500
9.455.138
5
2005
5.196.820
16.061.802
6
2006
7.160.000
18.489.246
7
2007
6.677.055
20.113.261
8
2008
7.062.966
25.235.339
Sumber : Assosiasi Eksportir Kopi Indonesia th. 2009

Tingginya devisa yang diraup oleh Nanggroe Aceh Darussalam tidak lepas dari geografi Indonesia yang sesuai untuk tumbuhnya tanaman kopi. Dengan ketinggian 700-1600 meter dan 400-800 meter diatas permukaan laut, tanah jenis Latosol dan Podzolik dan tipe iklim A (sangat basah) dan B (basah), maka tanaman kopi sangat cocok untuk hidup dan dibudidayakan di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam. Berikut ini adalah data beberapa komoditas yang berpotensi di Kabupaten Bener Meriah (pecahan Kabupaten Aceh Tengah ).




Tabel 2. Komoditi, Produksi, Luas Areal yang Telah Ada, Luas Areal Pengembangan, dan Jumlah Produksi Di Kabupaten Bener Meriah

No
Komoditi
Luas Areal Yang Telah Ada (Ha)
Luas Areal Pengembangan (Ha)
Produksi (ton)
Jumlah Petani (KK)
1
Kopi
43.765,74
1.919,81
15.973,82
32.907
2
Kelapa Sawit
299,95
20.447,55
2.247,03
30
3
Kakao
837,13
3.421,62
48,09
930
4
Pinang
172,50
300,00
20,20
320
5
Kemiri
163,00
593,73
24,78
233
6
Cassia Vera
254,90
962,63
157,37
402
7
Tebu
555,24
5.310,00
1.463,61
415
8
Tembakau
108,97
142,53
44,00
207
9
Pala
11,50
150,00
3,45
32
10
Lada
156,77
1.095,55
107,23
341
11
Aren
108,00
50,25
21,00
119
12
Kunyit
105,41
503,22
225,96
1.352
13
Jahe
210,90
579,36
226,00
1.376
Jumlah
47.449,98
28.543,10
20.562,54
38.464
Sumber Data : Dinas Kehutanan dan Perkebunan 2009

Sudah sepantasnya kopi merupakan komoditas unggulan ekspor Kabupaten Bener Meriah jika dilihat dari produksi kopi sebesar 15.973,82 ton serta luas lahan yang digunakan yaitu 43.765,74 hektar dimana 37.200,879 hektar (85%) merupakan jenis kopi arabika dan sisanya seluas 6.564,861 hektar (15%) merupakan jenis kopi robusta dan seluruhnya merupakan perkebunan rakyat.
Agar komoditas unggulan ekspor ini sampai ditangan konsumen, dibutuhkan tataniaga yang merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan kopi arabika. Terdapat suatu wacana yang menyatakan bahwa dengan menggunakan tataniaga yang berkonsep fair trade atau perdagangan yang adil, tataniaga kopi arabika akan menjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan tataniaga yang berkonsep konvensional. Melalui tataniaga yang efisien akan tercermin pembiayaan yang dapat memuaskan semua pihak baik produsen maupun konsumen dalam penyampaian suatu barang atau komoditas. Bila mekanisme tataniaga berjalan dengan baik, maka semua pihak yang terlibat pun akan diuntungkan.

Menurut Silitonga (2008), dalam tataniaga kopi arabika, harga kopi nasional yang berlaku selama ini merupakan harga kopi nasional yang ditentukan berdasarkan harga kopi internasional sehingga perubahan yang terjadi pada harga kopi internasional akan mempengaruhi harga nasional, dimana untuk kopi jenis arabika ditentukan di Terminal New York. Tidak adil rasanya jika Indonesia tidak mampu mempengaruhi harga kopi arabika internasional, yang notabene Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan eksportir terbesar di dunia. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian diatas maka penelitian tentang efisiensi tataniaga dan pengaruh harga kopi dunia terhadap harga nasional dan sebaliknya perlu dilakukan.
1.2  Identifikasi Masalah
Dengan pentingnya efisiensi tataniaga sebagai salah satu aspek tataniaga yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan arus barang dari produsen dan konsumen, dan adanya wacana yang menyatakan bahwa tataniaga yang menggunakan perdagangan yang adil lebih efisien, serta wacana lain yang menyatakan bahwa harga kopi nasional ditentukan atau dipengaruhi oleh harga kopi internasional, maka identifikasi masalah yang diangkat adalah :
1. Bagaimana saluran tataniaga kopi arabika secara nasional
2. Bagaimana tingkat efisiensi tataniaga kopi arabika secara Nasional
3. Bagaimana hubungan saling pengaruh (kausalitas) antara harga kopi arabika satu daerah dengan harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika terminal New York  

1.3  Tujuan Penulisan
1. Untuk menganalisis saluran tataniaga komoditas kopi arabika secara Nasional
2. Untuk menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kopi arabika secara Nasional
3. Untuk menganalisis hubungan saling pengaruh (kausalitas) antara harga kopi arabika satu daerah dengan harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika terminal New York


1.4  Kegunaan Penulisan
1. Sebagai bahan informasi atau masukan bagi petani kopi arabika dalam memasarkan hasil usahataninya secara efisien.
2. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan untuk perbaikan dan peningkatan proses tata niaga komoditas kopi arabika.
3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.



















BAB  II
LANDASAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 LANDASAN PUSTAKA
Kopi Arabika
Kopi arabika merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Dataran Tinggi Gayo adalah daerah yang berada di kawasan pegunungan Aceh Tengah, Bener meriah daan Gayolues dengan tiga kota utamanya yaitu Takengon, Blangkejeren dan Simpang Tiga Redelong. Perkebunan kopi yang mulai diusahakan sejak tahun 1924 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah sampai sekarang. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia, yaitu seluas 73.782 hektar. Mayoritas masyarakat Suku Gayo yang mendiami kedua kabupaten ini berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabika mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo.
Kopi pertama kali ditanam di Indonesia (Pulau Jawa) pada tahun 1696 dan sampai akhir abad ke 19. Komoditi kopi menjadi penting bagi pemerintahan Belanda yang dikenal dengan dengan nama Java Coffee yang memiliki reputasi yang baik di pasaran dunia. Pada tahun 1878 tanaman kopi yang dikembangkan oleh pemerintahan Belanda terserang penyakit karat daun sehingga kopi arabika yang ditanam pada daerah-daerah yang rendah terpaksa diganti dengan tanaman kopi jenis Robusta yang resisten terhadap penyakit karat daun tersebut. Kemudian kopi arabika ditanam di dataran tinggi dimana sepertiganya tumbuh di Kabupaten Bener Meriah. Perkebunan kopi pertama diusahakan pada tahun 1924 dimana pada waktu itu perkembangan arealnya sangat lambat, hal ini disebabkan karena letak daerah ini terisolasi dan tingginya biaya transportasi. Pengembangan kopi pada awalnya hanya terkonsentrasi di Bandar Lampahan dan Berkhendal. Setelah tahun 1930 kopi menjadi penting bagi masyarakat karena langsung dapat menghasilkan uang dan setelah Perang Dunia II semua kopi hanya dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Perkebunan kopi rakyat di Kabupaten Bener Meriah baru mulai berkembang setelah berakhirnya perang kemerdekaan yaitu pada tahun 1945 dan pada saat ini 85 % luas areal tanaman kopi rakyat didominasi oleh varietas arabika dan sisanya 15 % merupakan varietas robusta.
Dalam setahun kopi arabika mengalami 2 kali masa panen yaitu pada bulan September-Desember dengan total produksi 8820 kg/ha dan Januari-Mei dengan total produksi 6000 kg/ha, sedangkan pada Juni-Agustus terjadi paceklik kopi yaitu hanya menghasilkan 360 kg/ha pada bulan Juni. Pada bulan Juli dan Agustus tanaman kopi tidak berproduksi.
Kopi dipanen jika biji kopi sudah berwarna merah yang disebut dengan gelondongan atau cerri. Kemudian biji kopi dimasukkan ke mesin pulper atau pengupas untuk memisahkan biji kopi dengan kulit buah dan kuli arinya. Pada umumnya, pulper yang digunakan adalah vis pulper yang tidak mengikutsertakan proses pencucian sehingga masih perlu dilakukan proses fermentasi untuk menghilangkan lendir. Fermentasi dilakukan 1 malam dan dilakukan pencucian. Kemudian biji kopi dijemur dibawah sinar matahari langsung selama 8 jam .Biji kopi yang sudah dijemur ini disebut gabah. Gabah akan dipisahkan dari kulit tanduk dan kulit arinya dengan menggunakan huller. Gabah yang sudah dipisahkan dari kulit tanduk dan kulit arinya ini disebut labu dan labu akan dijemur sampai memiliki kadar air 18%. Labu yang sudah memiliki kadar air 18% disebut asalan atau kopi ready.

Penelitian Terdahulu
·         Dalam Analisis Efisiensi Pemasaran Kopi Di Kabupaten Tanggamus Lampung oleh Yuda Pranata, Hurip Santoso dan Benyamin Widyamoko, diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kinerja pasar kopi di Kabupaten Tanggamus belum efisien. Hal ini dilihat dari struktur pasar, keragaan pasar, dan trend produksi.
Struktur pasar yang terjadi adalah oligopsoni, produsen cenderung melakukan differensiasi pada produknya, semakin rendah tingkat pelaku tataniaga maka akan semakin mudah untuk masuk ke dalam pasar sehingga perilaku pasar mengarah pada proses penentuan harga oleh pedagang, sedangkan petani hanya sebagai penerima harga (price taker) yang ditetapkan oleh pedagang dan sistem pembayaran dilakukan secara tunai.
Keragaan pasar yang terdiri dari 5 saluran pemasaran dengan distribusi margin pemasaran tidak merata dimana hanya saluran pemasaran keempat yang relatif lebih efisien bila dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya; yaitu Petani –> PP III -> Eksportir, hal ini dilihat dari penyebaran rasio profit marjin pada saluran pemasaran keempat yang relatif lebih merata. Sedangkan untuk harga jual ditentukan oleh penjual, dan biaya yang dikeluarkan pedagang antara lain biaya angkut dan biaya bongkar muat. Untuk analisis elatisitas transmisi harga diperoleh Et≠1(Et <1 atau Et >1) yang menunjukkan bahwa pasar tidak bersaing sempurna. Selain itu, trend produksi kopi di Kabupaten Tanggamus juga semakin menurun diakibatkan peralihan lahan yang digunakan oleh petani tidak sepenuhnya ditanami kopi.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari s.d. Februari 2009 di dua kecamatan yang terpilih secara sengaja (purposive), yaitu Kecamatan Ulu Belu dan Kecamatan Pulau Panggung. Jumlah responden petani kopi sebanyak 50 responden, diperoleh melalui teknik simple random sampling. Responden pedagang pengumpul sebanyak 25 responden, 3 perusahaan eksportir, dan 1 pengolah hasil, diperoleh dengan snowball methods. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif (deskriptif) untuk mengetahui struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan pasar yang meliputi saluran pemasaran, harga, biaya, dan volume penjualan. Analisis kuantitatif (statistika) untuk mengetahui keragaan pasar yang meliputi pangsa produsen, marjin pemasaran, dan elastisitas transmisi harga, serta analisis trend linier produksi kopi.

·         Berbeda dengan Analisis Efektifitas dan Efisiensi Tataniaga Kopi Biji di Propinsi Lampung oleh Mustafid, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 saluran tata niaga yang terjadi yaitu saluran tata niaga I (petani produsen-pedagang kecamatan-eksportir), saluran tata niaga II (petani produsen-pedagang desa-pedagang kecamatan–eksportir), dan saluran tata niaga III (petani produsen-pedagang kabupaten-eksportir). Berdasarkan analisis efisiensi tataniaga komoditas biji kopi Propinsi Lampung diperoleh hasil bahwa saluran tataniaga II lebih efisien dibandingkan dengan saluran tataniaga I dan III dengan nilai efisiensi 0.95 untuk saluran tata niaga II dan 0.93 serta 0.94 untuk saluran tataniaga I dan III. Penelitian ini menggunakan 47 responden yang di ambil secara proporsif (proporsive random sampling) atas dasar homogenitas (relatif sama) yang
diharapkan dapat mewakili dari populasi yang ada dengan daerah penelitian Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Way Kanan. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif berdasarkan teori tataniaga dan analisis kuantitatif dengan menganalisis efektivitas dan efisiensi tata niaga pemasaran komoditas kopi biji di Propinsi Lampung, yaitu untuk mengukur tingkat efektivitas digunakan metode faktor tertimbang dan margin tataniaga untuk mengukur tingkat efisiensi.

·         Sedangkan dalam Analisis Pangsa Pasar dan Tataniaga Kopi Arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang Sulawesi Selatan oleh Ima Aisyah Sallatu dari Institut Pertanian Bogor yang menggunakan pendekatan Structure–Conduct– Performance menunjukkan bahwa Banyaknya pelaku pasar yang terlibat serta besarnya hambatan untuk keluar masuk pasar telah menyebabkan terbentuknya struktur pasar kopi arabika di Kabupaten Tana Toraja dan Enrekang yang mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Sementara perilaku pasar diwarnai oleh praktek penentuan harga yang didominasi oleh eksportir dan pedagang besar. Struktur dan perilaku pasar kopi arabika di dua kabupaten ini tidak memberikan alternatif kepada petani untuk dapat memilih saluran pemasaran yang lebih efisien walaupun saluran pemasaran ini dapat memberikan bagian harga yang lebih tinggi kepada petani.

·         Dalam Targeted Study of The Arabica Coffee Production Chain in North Sumatera (The Mandheling Coffee) oleh Wayan R Susila dari Food and Organization United Nations yang melakukan penelitian di Tapanuli Utara (Siborong-Borong, Pangribuan), Humbang Hasundutan (Lintong Nihuta, Dolok Sanggul), Toba Samosir (Muara) dengan menggunakan stratified random yang berdasarkan kecamatan dan luas lahan diperoleh 26 sampel petani, dimana hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa sistem tataniaga kopi mandailing cukup unik jika dibandingkan dengan daerah penghasil kopi lainnya. Ini dikarenakan transaksi tataniaga dilaksanakan di pasar kecamatan atau pasar kabupaten, kopi mandailing dijual dalam bentuk biji basah (wet bean). Biji kopi diukur dengan satuan liter bukan kilogram, dan hari pasar atau hari pekan untuk kopi mandailing sangatlah teratur pada setiap kecamatan yaitu Lintong Nihuta (Humbang Hasundutan) pada hari Senin,Sipahutar (Tapanuli Utara) pada hari Senin, Siborong-Borong (Tapanuli Utara) pada hari Selasa, Pangaribuan (Tapanuli Utara) pada hari Rabu, Dolok Sanggul (Humbang Hasundutan) pada hari Jumat, dan Tarutung (Tapanuli Utara) pada hari Sabtu. Para petani akan menjual langsung biji kopinya ke pasar pada hari pekan kepada para pedagang pengumpul, dimana pada setiap pasarnya terdapat 200-300 pedagang pengumpul yang siap membeli biji kopi para petani. Meskipun terdapat banyak petani sebagai penjual dan pembeli di pasar, tetapi harga kopi ditentukan oleh para eksportir di Medan melalui pedagang pengumpul mereka yang bertindak sebagai agen penentu harga. Umumnya, struktur pasar cenderung pasar oligopsoni. Untuk saluran tataniaga kopi mandailing, terdapat 2 saluran tataniaga yaitu petani–pedagang pengumpul I–pedagang pengumpul II–eksportir dan petani–pedagang pengumpul II –eksportir. Sedangkan untuk penampilan pasar yaitu relatif efisien sebagai indikasi adilnya pembagian margin keuntungan oleh pedagang pengumpul dan eksportir. Dengan menggunakan analisis margin tataniaga, diperoleh hasil yaitu petani mendapat proporsi sebesar 86.4% dengan harga jual Rp 13.000/kg, pedagang pengumpul I dengan rata-rata biaya Rp 91/kg, rata-rata margin Rp 306/kg, dan proporsi 89.1 % dengan harga jual Rp 13.397/kg, pedagang pengumpul II dengan biaya rata-rata Rp 669/kg, rata-rata margin Rp 323/kg, dan proporsi 95.7 % dengan harga jual Rp 14.389/kg. sedangkan untuk eksportir, rata-rata biaya Rp 250/kg, rata-rata margin Rp 400/kg dengan proporsi 100 % dan harga jual Rp 15.039/kg.
·         Selain itu, dalam Analisis Keunggulan Bersaing Kopi Arabika Gayo Organik di Indonesia oleh Christina Mutiara TM Silitonga, diperoleh hasil bahwa keadaan pasar tidak efisien pada tingkat petani. Ini dilihat dari margin yang diperoleh petani kopi arabika Bener Meriah sebesar Rp 1.270, dimana ini lebih rendah 317 dibandingkan dengan petani kopi arabika Aceh Tengah yaitu Rp 1.587, dan mata rantai tata niaga kopi arabika di Bener Meriah yang lebih panjang jika dibandingkan dengan mata rantai kopi arabika di Aceh tengah yaitu melalui 4 tingkatan, petani-kolektor-koperasi-eksportir. Di Aceh Tengah, petani mengeluarkan biaya sebesar Rp 2.060, margin Rp 1.587, harga jual petani kepada kolektor Rp 14.187. Untuk kolektor, biaya yang dikeluarkan Rp 320, margin Rp 363, harga jual kolektor kepada eksportir Rp 14.870. Untuk eksportir, biaya yang dikeluarkan Rp 2.850, margin Rp 21.916, dan harga yang dijual eksportir adalah Rp 39.536. Sedangkan untuk Bener Meriah, petani mengeluarkan biaya Rp 2.060, margin Rp 1.270, harga jual petani ke kolektor Rp 13.870. Untuk kolektor, biaya yang dikeluarkan Rp 320, margin Rp 260, harga jual kepada koperasi Rp 14.450. Untuk koperasi, biaya yang dikeluarkan Rp 1.500, margin Rp 4.639, dan harga jual kepada eksportir Rp 20.589. Sedangkan untuk eksportir, biaya yang dikeluarkan Rp 1.350, margin Rp 14.285, dan harga jual Rp 36.224.
Pada penelitian ini, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode snowball dan dikombinasikan dengan purposive. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu Agustus-November 2008 dengan pemilihan lokasi dilakukan dengan Secara sengaja (purposive). Populasi sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah petani kopi arabika, kolektor, pedagang, koperasi, perusahaan eksportir, AEKI, ICO dan pemerintah.
·         Dalam Analisis Saling Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia oleh Budiman Hutabarat yang menggunakan uji Kausalitas Granger untuk mengetahui hubungan saling pengaruh (kausalitas) antar pasar, diperoleh hasil bahwa tidak ada satupun harga di dalam negeri seperti HPBRI (harga bulanan kopi robusta di tingkat produsen Indonesia), HRBJTM dan HRKJTM (harga bulanan kopi robusta olah basah dan olah kering di Jawa Timur), HRTLPG (harga bulanan kpi ditingkat produsen Lampung) yang berpengaruh terhadap HEBKJP (harga eceran kopi di Jepang) atau sebaliknya. Oleh karena itu, meskipun Jepang mengimpor kopi dalam jumlah yang besar dari Indonesia, hubungan kedua pasar ini tidaklah terlalu kuat.
Sedangkan untuk HEBKAS (harga eceran kopi di Amerika Serikat) terlihat adanya saling pengaruh dengan harga kopi tingkat produsen Indonesia (HPBRI) dan harga kopi robusta olah basah Jawa Timur (HRBJTM), dan hanya pengaruh searah dari harga kopi robusta olah kering di Jawa Timur (HRKJTM) ke HEBKAS (harga eceran kopi di Amerika Serikat). Tampak hubungan yang erat antara pasar kopi Amerika Serikat dengan Jawa Timur.
Untuk kasus harga eceran kopi di Jerman (HEBKJM), ada hubungan searah dari HPBRI ke HEBKJM dan dari HEBKJM ke masing-masing harga kopi robusta di tingkat produsen Lampung (HRTLPG). Jadi, tampak bahwa pasar kopi di Jerman berpengaruh pada pasar kopi Lampung.
Kesimpulan yang sama berlaku untuk pasar Italia, penaruh searah dari harga eceran kopi di Italia (HEBKIT) ke HRTLPG. Sedangkan umtuk harga eceran kopi di Belanda (HEBKNL) terbukti ada saling pengaruh dengan HPBRI dan searah dari HEBKNL ke HRTLPG. Jadi, industri kopi di Eropa barat berhubungan erat dengan industry kopi di Lampung dan kurang erat dengan industri kopi di Jawa Timur. Sebaliknya industri kopi Amerika Serikat berhubungan erat dengan industri kopi di Jawa Timur dan kurang erat dengan industri kopi di Lampung. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2003 dengan menggunakan data sekunder dari instansi-instansi terkait yang meliputi harga kopi di dalam negeri di tingkat produsen, pedagang ,ekspor, dan harga eceran konsumen negara pengimpor utama dunia dari tahun 1983 sampai 2003.

Fair Trade
Fair trade adalah alternatif pendekatan terhadap perdagangan internasional yang berupa model relasi atau kemitraan dalam perdagangan yang mengarah pada tewujudnya pembangunan yang berkelanjutan dari produsen oleh perdagangan internasional. Prinsip-prinsip fair trade adalah upah dan harga yang adil sesuai konteks lokal, partisipasi dalam pengambilan keputusan, kondisi dan praktik kerja yang aman, kesetaraan jender dan keragaman, perlindungan terhadap buruh anak, pengunaan sumber daya alam yang lestari, dan sistem produksi yang berwawasan lingkungan.
Untuk mewujudkan keadilan dalam perdagangan dan terwujudnya tataniaga yang lebih efisien, maka upaya yang dilakukan oleh fair trade untuk menjembatani hubungan yang lebih langsung antara produsen dan kosumen adalah :
a. Memotong jalur tataniaga dan mendirikan rantai tataniaga alternatif. Dengan rantai tataniaga yang lebih efisien memungkinkan produsen dan usaha kecil menikmati marjin yang lebih baik
b. Mendorong transparasi informasi pasar.
c. Mengorganisasikan produsen dan usaha kecil dalam wadah tataniaga bersama.
d. Pengembangan kapasitas organisasi produsen.






2.2 Landasan Teori

Tataniaga Pertanian
Dalam Kusnadi, dkk (2009), Schaffner et.al. (1998) mengemukakan pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua perspektif yaitu perspektif mikro dan makro. Dalam perspektif mikro, tataniaga merupakan aspek manajemen dimana perusahaan secara individu, pada setiap tahapan tataniaga dalam mencari keuntungan, melalui pengelolaan bahan baku, produksi, penetapan harga, distribusi dan promosi yang efektif terhadap produk perusahaan yang akan dipasarkan. Perspektif makro menganalisis efisiensi sistem secara keseluruhan dalam penyampaian produk/jasa hingga konsumen akhir atau pemakai, yaitu sistem tataniaga setelah dari petani dengan menggunakan fungsi-fungsi tataniaga atau aktivitas yang diperlukan untuk menyampaikan produk/jasa yang berhubungan dengan nilai guna waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan kepada konsumen dan kelembagaan atau perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut (pengolah, distributor, broker, agen, grosir dan pedagang eceran).
Fungsi-fungsi tataniaga dapat dikelompokkan menjadi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran merupakan kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran terdiri atas fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan tempat , dan kegunaan waktu. Fungsi fisik meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan. Fungsi fasilitas yaitu semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggulangan resiko, funsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar.

Saluran dan Lembaga Tataniaga
Komoditas pertanian merupakan komoditas yang cepat rusak, maka komoditas pertanian harus cepat diterima oleh konsumen. Kondisi seperti ini memerlukan saluran tataniaga yang relatif pendek. Jika jarak antara produsen dengan konsumen semakin jauh, maka saluran tataniaga yang terbentuk pun akan semakin panjang. Karena adanya perbedaan jarak dari lokasi produsen ke konsumen, maka lembaga tataniaga diharapkan kehadirannya untuk membantu penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Oleh sebab itu, dalam hal melancarkan penyampaian dan memindahkan barang-barang dari produsen ke pasar (para konsumen) peranan lembaga-lembaga tataniaga (marketing institutions) adalah demikan besar.
Lembaga tataniaga merupakan segala usaha yang berkait dalam jaringan lalu lintas barang-barang di masyarakat, seperti halnya jasa-jasa yang ditawarkan oleh agen-agen atau perusahaan dagang, perbankan, perusahaan pengepakan dan peti kemas, perusahaan angkutan, usaha pertanggungan atau asuransi dan lain sebagainya. Perusahaan dagang, perusahaan pengepakan, perusahaan angkutan, perusahaan asuransi, kesemuanya memegang peranan dalam menyampaikan produk-produk itu ke pasar (konsumen) dengan menjamin sampainya produk-produk itu ke konsumen (pasar) tanpa ada kerusakan-kerusakan di samping waktu penyampaiannya yang tepat (Kartasapoetra, 2002).

Konsumen Akhir
 
Pabrik/ Eksportir
 
Pengecer
 
P. Besar/
P. Perantara
 
Koperasi
 
Tengkulak
 


petani
 
Secara umum, pola saluran tataniaga produk pertanian di Indonesia adalah











( Limbong dan pangabean, 2005)

Gambar 1. Pola Saluran Tata Niaga secara umum


Lembaga tataniaga yang membawa produk dan kepemilikannya lebih dekat ke pembeli akhir merupakan satu tingkat saluran. Saluran nol tingkat diartikan sebagai saluran dimana pihak produsen menjual langsung kepada pihak produsen. Saluran satu tingkat mencakup satu lembaga tataniaga seperti pengecer. Saluran dua tingkat mencakup dua lembaga tataniaga seperti pedagang besar dan pengecer. Saluran tiga tingkat mencakup tiga lembaga tataniaga seperti pedagang besar, pemborong, dan pengecer.
Lembaga tataniaga yang berperan dalam proses penyampaian barang-barang dan jasa dari sektor produsen ke konsumen ini akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda pada tiap lembaga tataniaga dimana dalam penyampaian tersebut terdapat biaya tataniaga. Kemampuan menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila ingin dianggap efisien dalam sistem tataniaga (Mubyarto,2002).

Efisiensi Tataniaga
Efisiensi tata niaga adalah maksimisasi penggunaan rasio input-output, yaitu mengurangi biaya input tanpa mengurangi kepuasan konsumen terhadap barang atau jasa. Kemampuan menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila ingin dianggap efisien dalam sistem tataniaga.
Ø  Menurut Soekartawi (2002) efisiensi tataniaga dapat terjadi jika :
1. Biaya tataniaga dapat ditekan sehingga keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi.
2. Persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi.

3. Tersedianya fasilitas fisik tataniaga


Ø  Menurut Mubyarto (2002) efisiensi tataniaga dapat terjadi jika :
1. Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya
2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu

Ø  Dalam Sukirno (2002), pasar persaingan sempurna merupakan struktur pasar yang paling efisien dan ideal, karena sistem pasar ini merupakan struktur pasar yang akan menjamin terwujudnya kegiatan memproduksi barang atau jasa yang tinggi efisiensinya. Pasar persaingan sempurna didefenisikan sebagai struktur pasar atau industri dimana terdapat banyak penjual dan pembeli dan setiap penjual dan pembeli tidak dapat mempengaruhi keadaan di pasar. Pada pasar ini para penjual dan pembeli bertindak sebagai penerima harga, sehingga penjual dan pembeli tidak dapat menetapkan harga seenaknya untuk medapatkan keuntungan maksimum. Ini dikarenakan jumlah dan nilai transaksi dari penjual dan pembeli sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah dan nilai output pasar secara keseluruhan, sehingga pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga produk.

Harga Kopi
Dalam teori ekonomi, yang dimaksud dengan harga adalah pertemuan antara penawaran dan permintaan. Terjadinya atau terciptanya harga adalah akibat adanya proses tawar menawar antara penjual (produsen) dan pembeli (konsumen).
Ø  Penjual menawarkan harga tertentu terhadap komoditinya sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan penjual, dan pembeli menawarkan harga tertentu untuk komoditi bersangkutan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki pembeli. Bila terjadi kesesuaian harga antara harga yang ditawarkan penjual dengan harga yang diminta pembeli, maka saat itulah terjadi harga pasar dan kemudian transaksi dapat berlangsung (Nugraha, 2006).

Ø  Menurut Silitonga (2008), harga kopi nasional yang berlaku selama ini merupakan harga kopi nasional yang ditentukan berdasarkan harga kopi internasional sehingga perubahan yang terjadi pada harga kopi internasional akan mempengaruhi harga nasional, dimana untuk kopi jenis arabika ditentukan di Terminal New York. Dari harga kopi internasional inilah para pengekspor menerima harga dan akan menjadi dasar penentuan harga yang akan ditetapkan kepada pedagang perantara dan secara berantai akhirnya kepada petani produsen. Oleh sebab itu, jika harga kopi di pasar dunia sangat fluktuatif, maka akan berpengaruh pada harga kopi di pasar domestik yang akan berdampak pada harga kopi di tingkat petani. Fluktuasi harga kopi ini dapat disebabkan karena kelebihan pasokan dan siklus produksi.
Ø  Hal yang sama juga disebutkan oleh Kustiari (2007) dalam jurnal Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya Bagi Indonesia, yang mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah di bidang harga kopi adalah pemerintah menetapkan harga dasar pembelian kopi bersama-sama dengan pengekspor, sehingga harga kopi di Indonesia lebih ditentukan oleh harga kopi dunia. Ini dilakukan agar kopi yang berasal dari Indonesia dapat bersaing dengan negara produsen kopi yang lainnya seperti Kolombia, Brazil dan Vietnam.

Kerangka Pemikiran
Mata rantai tataniaga dimulai dari petani sebagai produsen yang menghasilkan biji kopi. Petani menjual gelondong kopi kepada pedagang pengumpul kecil di desa. Kemudian biji kopi diolah melalui cara semibasah oleh pengumpul kecil .Dari cara pengolahan ini dihasilkan kopi asalan (ready) yang siap disalurkan ke pedagang pengumpul besar dengan kadar air 18% tanpa proses sortir. Oleh pedagang pengumpul besar, kopi ready disortir atau dipilih secara manual dan akan dijual ke eksportir untuk disalurkan ke luar negeri. Dalam tataniaga yang dilakukan eksportir, biasanya kopi yang diperdagangkan dalam bentuk kopi ready dengan kadar air 12-13%.



Setiap lembaga tataniaga yang berperan dalam perjalanan rantai tataniaga tersebut, masing-masing melakukan fungsi-fungsi tataniaga sehingga menyebabkan terdapatnya biaya tataniaga dimana semakin panjang rantainya maka semakin tinggi biaya keseluruhan yang dikeluarkan sehingga semakin tinggi pula harga yang dibayarkan konsumen. Jika biaya tataniaga dapat ditekan maka efisiensi pemasaran dapat terjadi.
Secara sistematis kerangka pemikiran dapat digambarkan pada skema kerangka pemikiran berikut :
































Gambar 2. Sekema Krangka pemikiran
 






















                                                                                                                                     



Hipotesis
Harga kopi arabika di provinsi Aceh ( sebagai sentra penghasil terbayak di Indonesia), harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika Terminal New York mempunyai hubungan saling pengaruh.

















BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
ASPEK PEMASARAN / PELUANG PASAR SECARA NASIONAL

         Hal-hal yang dipaparkan dalam aspek pemasaran ini, terdiri dari peluang pasar, produksi (sebagai pendekatan sisi penawaran) dan situasi persaingan. Dalam hal ini, perlu dijelaskan bahwa terdapat sejumlah aspek yang perlu mendapat perhatian.
        Harga jual kopi yang diterima pelaku pasar kopi dalam jangka panjang terbukti fluktuatif disebabkan kondisi permintaan dan penawaran di pasar internasional. Khusus untuk Indonesia saat ini, harga yang diterima oleh para produsen sangat dipengaruhi oleh depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika, sehingga perhitungan kelayakannya perlu mempertimbangkan kemungkinan penurunan harga sehubungan dengan apresiasi rupiah di masa depan.
       Selama ini, kekhawatiran terhadap produksi kopi yang melimpah lebih mengarah pada jenis Kopi Robusta. Produksi Kopi Arabika di Indonesia hanya sekitar 5% dari produksi total, sehingga jenis kopi ini masih mempunyai peluang pasar yang tinggi, karena sekitar 70% permintaan kopi dunia adalah untuk Kopi Arabika.
       Volume ekspor kopi Indonesia tahun 1990 - 1997 cenderung menurun, namun nilai ekspornya cenderung meningkat. Dari Tabel 1. Terlihat bahwa pada tahun 1990, volume ekspor kopi mencapai 422.161 dan berkurang menjadi 372.958 ton pada tahun 1997. Dalam periode tersebut terjadi penurunan volume ekspor 69.203 ton.





Tabel1. Realisasi Ekspor Kopi dari Indonesia

Tahun
Volume / Nilai
Ekspor
1990
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
442.161
377.201
1991
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
380.656
372.416
1992
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
259.349
236.775
1993
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
349.916
344.208
1994
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
289.303
745.803
1995
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
230.199
606.469
1996
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
366.602
595.268
1997 s/d Sept
Volume (ton)
Nilai (ribu US $)
372.958
577.914
Sumber : *BPS
Namun demikian, dalam kurun waktu yang sama nilai ekspornya meningkat dari US$ 377.201.000 pada tahun 1990, menjadi US$ 577.914.000 pada tahun 1997. Suatu peningkatan US$ 200.713 dalam kurun waktu 7 tahun. Peningkatan nilai ekspor ini disebabkan oleh peningkatan harga kopi (lihat Tabel 2) kualitas kopi yang diekspor dan adanya suatu usaha pengolahan kopi mentah (green beans) menjadi kopi masak (roasted beans) dan kopi bubuk.
Permintaan biji kopi di pasaran dunia cukup tinggi, yaitu sekitar 5,5 juta ton, tetapi 70% kopi yang diminta adalah dari jenis arabika dan kopi jenis ini hanya 5% dari produksi kopi di Indonesia. Kopi Arabika selain banyak diminta pasar luar negeri, juga harganya lebih tinggi dari kopi robusta, bahkan pada tahun 1997, harga kopi tersebut lebih tinggi US$ 2,54 (lihat Tabel 2). Melihat potensi tersebut pemerintah berupaya untuk meningkatkan pangsa produksi kopi arabika sampai 30%. Untuk itu pemerintah, melalui Dirjenbun telah melakukan usaha-usaha peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi kebun kopi.


Tabel 2. Perkembangan Harga Kopi Ekspor (FOB dalam US $/kg)

No
Jenis Kopi
1993
1994
1995
1996
1997
1.
2.
Kopi Arabika
Kopi Robusta
2,19
1,04
3,73
2,15
3,31
3,06
2,58
2,07
4,18
1,64
Sumber : Deperindag 1998

Tabel3.Perkembangan Rata-rata Bulanan Harga Kopi
          di Beberapa Kota di Indonesia (dalam Rp/kg)

Jenis Mutu
Kota
1997
1998
Des
Jan
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Arabika
Medan
U. Pandang
4.900 11.353
4.900 16.841
- 23.417
4.900 25.417
- 30.000
- 30.000
- 30.667
- 31.000
Robusta Mutu I
Medan
Surabaya U.
Pandang
3.100 7.589 3.875
3.100 9.402 6.563
- 15.700 16.000
- 17.125 19.333
- 18.042 19.000
- 18.042 19.000
- 22.000 22.000
- 22.750 22.000
Mutu IV
Bdr Lampung
Surabaya
5.520 5.692
6.508 6.767
11.700 9.875
12.050 11.323
15.500 13.125
15.500 13.125
20.067 17.917
16.500 18.250
Mutu VI
Bdr Lampung
5.413
6.438
10.800
12.200
13.600
13.600
19.067
16.100
Asalan
Palembang
Bdr Lampung
4.000 4.867
4.000 5.953
4.000 9.500
4.000 10.800
4.000 11.783
4.000 11.783
15.500 13.533
15.500 13.250
Sumber : Badan Agribisnis Deptan www.fintrac.com/indag/,11/08/1998
Dengan mengingat bahwa kenaikan harga belakangan ini lebih disebabkan oleh depresi nilai rupiah dan agar studi ini lebih adaptif terhadap kemungkinan penurunan harga, maka harga jual rata-rata yang digunakan dalam studi ini adalah masih dalam bentuk biji gelondong basah, dengan komposisi biji berwarna merah, kuning dan hijau dengan perbandingan 7 : 2 : 1. Harga untuk kondisi tersebut diasumsikan Rp. 3.500/kg




PENGEMBANGAN KOPI SECARA NASIONAL
Indonesia merupakan salah satu produsen penting kopi spesialti dunia, khususnya jenis kopi Arabika. Ekspor kopi Arabika dari Indonesia sebagian besar ke segmen pasar kopi spesialti. Beberapa contoh kopi spesialti dari Indonesia antara lain Java Coffee, Mandailing Coffee, Gayo Coffee, Toraja Coffee, Kintamani Bali Coffee, Flores Bajawa Coffee, dll. Kopi-kopi tersebut memiliki citarasa yang unik dan khas, serta berbeda antara suatu asal geografis dengan daerah asal lainnya. Kopi Arabika spesialti merupakan komoditi unggulan yang mempunyai prospek sangat baik, bahkan saat ini harganya terus naik disamping itu kebutuhan dunia juga terus meningkat.
Sebagai salah satu upaya mendukung pengembangan kopi Arabika berkesinambungan, maka telah dilaksanakan kegiatan temu usaha dengan mengambil tema “Pengembangan Kopi Arabika Berkesinambungan”. Acara ini merupakan salah satu agenda kegiatan dalam Penas KTNA ke XIII di Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Pokok-pokok materi yang disampaikan pada acara temu usaha antara lain : 1) Gambaran umum kopi : fakta lapangan mengenai kopi Arabika, dan permasalahannya; 2) Strategi pemecahan masalah; 3) Kemitraan usaha; 4) Klaster kopi arabika terpadu; 5) Upaya percepatan dan implementasi kemitraan.
Dari paparan materi dan diskusi yang berkembang diperoleh gambaran sebagai berikut :
Kelembagaan petani dalam wadah kelompok tani sebagian besar masih memerlukan bimbingan dan penguatan, sedangkan untuk menjalin kemitraan dengan pihak ketiga (mitra usaha) perlu dibentuk gabungan kelompok (GAPOKTAN) agar luas areal mencapai skala ekonomis.
Untuk permasalahan di tingkat lapangan, antara lain : 1) Luas dan produktivitas kopi Arabika masih rendah; 2) Pengendalian hama penyakit/nematoda belum optimal; 3) Dari total produksi kopi yang dihasilkan, sebesar 25 % untuk konsumsi dalam negeri dan 75 % diekspor; 4) Pengolahan hasil bersama (Group) perlu ditingkatkan.
Pengelompokan/cluster pengembangan kopi, disepakati antara lain : 1) Pengembangan kopi dengan benih unggul yang disesuaikan dengan lokasi cluster, untuk kopi Arabika dilakukan pada lahan-lahan diatas 1000 m dpl; 2) Luas pengembangan dalam satu kawasan/cluster kurang lebih 1.000 – 1.500 ha dan berbasis kelompok; 3) Panen dan pasca  panen, disesuaikan dengan SNI dan yang dipersyaratkan oleh pihak mitra.
Dalam hal kemitraan, disepakati : 1) Kemitraan yang dapat dikerjasamakan tidak hanya penyediaan saprodi dan penjualan produk utama (kopi Arabika) akan tetapi juga dalam hal penyediaan produk lainnya yang terkait dengan pengembangan agribisnis kopi yang berkesinambungan; 2) Peran petani melalui kelompok tani adalah melakukan penguatan kelembagaan, optimasi lahan, budidaya agroforestry dan integrasi perkebunan; 3) Peran eksportir/pengusaha (mitra) adalah sebagai pusat penyuluhan, pembibitan, kebun contoh, penyerapan hasil, pengolahan hasil, pemasaran dan pengembangan. 
Sistem Kemitraan yang dibangun antara lain : 1) Petani akan memperoleh jaminan pasar (pasokan dan kebutuhan berimbang); 2) Sistem budidaya sesuai anjuran teknis, sehingga dihasilkan produksi dan mutu sesuai yang diinginkan; 3) Peningkatan kelembagaan petani kopi melalui pelatihan-pelatihan mulai dari aspek pemeliharaan kebun, panen buah merah, pengolahan hasil sampai biji siap menjadi bahan baku industri; 4) Pihak-pihak yang bermitra selain petani dengan perusahaan juga dari pihak perbankan.
Selama ini sudah berjalan kemitaraan dengan koperasi-koperasi petani kopi yang tersebar di wilayah Sumatera (Provinsi Lampung), Jawa (Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali, NTT (Flores/Ngada) dan akan dikembangkan pada wilayah Sulawesi.
Kepedulian pihak mitra dalam hal ini telah ditunjukkan oleh PT.INDOCOM CITRA PERSADA yang selama ini telah memberikan kepada para petani benih kopi unggul Arabika, serta  benih tanaman sela yang terintegrasi dengan ternak, sehingga pendapatan petani dapat meningkat. Pada saat acara temu usaha disampaikan juga penawaran kemitraan dari berbagai daerah sentra produksi kopi Arabika dan hal ini akan ditindak lanjuti oleh pihak PT. INDOCOM CITRA PERSADA. (TM)

PELUANG PASAR EROPA UNTUK KOPI ARABIKA INDONESIA
Trieste-Parapengunjung,yang telah mencicipi kopi Arabika Indonesia pada Trieste Espresso Expo 2010,menilai kopi ini mempunyai prospek untuk menembus pasar Eropa, terutama Italia. Penilaian tersebut diperkuat Illycaffe Spa yang sudah sangat sohor di dunia dengan blend single Arabikanya.
Kopi Arabica Indonesia dinilai oleh Furio Suggi Liverani, Director Research and Technology Development Illycaffe Spa sebagai berprospek bagus untuk kebutuhan bahan baku produksinya. Liverani mengatakan itusaat menerima delegasi Indonesia.“Terkait dengan hal tersebut maka Illycaffe tertarik untuk berkunjung ke Indonesia untuk mencari jenis kopi Arabika yang tepat dan sesuai dengan rasa dan kualitas yang mereka inginkan,” tutur Atase Pertanian KBRI Roma Dr.Erizal Sodikin.
Keinginan berkunjung itu akan ditindak lanjuti oleh Direktorat Pengolahan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementrian Pertanian RI. Harus diakui publik Italia saat ini lebih mengenal kopi Arabica dari wilayah Amerika Latin dari pada kopi Arabika dari Indonesia. Diharapkam setelah langkah ini kepopuleran kopi Arabica Indonesia bisa terus meningkat di kalangan mereka.
Selama ini Indonesia memang lebih banyak memasok kopi jenis Robusta. Kopi Robusta Indonesia ini sudah sangat dikenal oleh para importir dunia, terutama untuk campuran dari racikan (blend) kopi yang dihasilkan para roaster terkenal Italia seperti Lavazza, Sega Fredo, Sandalj, dan Corsino Corsini.
Dalam pameran di Trieste (28-30/10/2010), beberapa perusahaan sepertiAli Bourgi dari Perancis, Sarl Sufaleg dari Aljazair, Kaffein Akademiadari Hungaria, Manifattura Caffe dan Zusicaff SRL dari Italia berkeinginan membeli kopi Indonesia.Selain memajang biji kopi jenis Robusta dan Arabica dari berbagai wilayah Indonesia,paviliun Indonesia juga memamerkan kopi luwak. Kopi termahal di dunia ini banyak mendapat perhatian dari pengunjung.

Di samping itu paviliun Indonesia juga menyajikan minuman kopi espresso maupun
capuccino dari PT Morning Glory yang selama 3 hari pameran menghabiskan 1.500 cangkir kopi. Paviliun ini diperkuat 26 eksportir kopi dari AEKI Jawa Timur, AEKI Lampung, juga beberapa perusahaan dari Medan dan Jawa Barat.
Selain kegiatan pameran, delegasi Indonesia juga mengunjungi perusahaan kopi Lavazza, Illy, Sandalj, perusahaan pensortir kopi Paccorini, serta mengadakan temu bisnis. Bersamaan dengan pameran, Dubes RI Roma Mohamad Oemar juga menyampaikan presentasi tentang Investasi, Perdagangan dan Turisme Indonesia dikantor Kamar Dagang Trieste, didampingi presiden Kadin Trieste, AntonioPaoletti.
Indonesia secara aktif mengikuti pameran di Trieste sejak 2006. Diharapkan pameran ini akan makin mendorong interaksi lebih luas antara pengusaha kopi Indonesia dengan importir kopi luar negeri,terutama Italia dan Eropa Timur, yang berbatasan langsung dengan Trieste.“Setelah pameran berakhir diharapkan akan ada tindak lanjut berupa kesepakatan pembelian kopi Indonesia dengan paramitranya, sehingga ekspor kopi Indonesia semakin lama semakin meningkat,”pungkas Erizal.
POLA PEMASARAN KOPI DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Lampung Barat tahun 2007, lahan untuk tanaman Kopi Robusta sekitar 60.483,7 hektar dengan menghasilkan biji Kopi Robusta sebanyak 38.419,2 ton. Kopi Arabika jarang dipakai petani karena iklim di Lampung Barat kurang bersahabat dengan kopi jenis ini. Tidak bersahabatnya iklim akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman kopi tersebut. Kopi Robusta Lampung Barat terkenal dengan nama Kopi Rupe. Rupe merupakan akronim dari Robusta Pepen Supendi. Pepen Supendi merupakan orang yang pertama kali mengenalkan masyarakat Lampung Barat, khususnya di masyarakat Sumberjaya, dengan bibit tanaman Kopi Robusta.
Sebagai kabupaten penghasil kopi yang cukup besar ternyata bertolak belakang dengan pendapatan petani yang tidak besar. Kebanyakan petani kopi Lampung Barat hanya sebagai price taker (penerima harga). Ini disebabkan bergainning position (posisi tawar) mereka masih rendah sehingga keuntungan yang mereka peroleh belum optimal. Posisi tawar yang rendah juga disebabkan pola pemasaran kopi di Lampung Barat masih terdapat rantai pemasaran yang panjang. Ada empat rantai pemasaran yang terjadi.
  1. Petani – Konsumen
  2. Petani – Tengkulak – Pengumpul – Pengumpul Besar – Konsumen
  3. Petani – Pengumpul – Pengumpul Besar – Konsumen
  4. Petani – Pengumpul Besar – Konsumen
Saluran Pertama.
Dalam saluran pertama hanya terjadi interaksi langsung antara petani dengan konsumen. Hal ini dilakukan petani kopi bernama Romi, dia menjual Kopi Robusta di warungnya yang berada di Jalan Simpang Gadis, Kecamatan Sumberjaya. Kopi Robusta tersebut bukan dalam bentuk biji melainkan dalam bentuk bubuk. Kopi bubuk tersebut dikemas dalam plastik sederhana yang sudah diberi brand Cahaya Indah. “Kopi bubuk ini hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sini saja, dan bisa buat oleh-oleh,” ujarnya. Romi menjual kopi bubuknya dengan harga Rp. 10 ribu per 0,25 Kg. Bahan dasar kopi bubuk milik Romi tidak berasal dari biji Kopi Robusta kualitas nomor wahid. Romi membuatnya dari biji Kopi Robusta yang tidak memenuhi syarat ekspor.
Saluran Kedua.
Tengkulak, pengumpul, dan pengumpul besar telah berperan dalam saluran pemasaran kedua. Pengumpul di Lampung Barat dibagi menjadi dua, yaitu pengumpul kecamatan dan pengumpul kabupaten. Untuk pengumpul besar masyarakat sering menyebutnya dengan tokek. Tokek umumnya perusahaan besar eksportir kopi yang berada di Teluk Betung Panjang. Saluran kedua ini merupakan saluran yang sangat tidak menguntungkan bagi petani karena petani akan memperoleh harga yang sangat rendah, jauh dibawah harga pasar.
Tengkulak akan beraksi pada bulan 12, tepat di musim paceklik. Menurut Kosasih, ketua kelompok Bina Wana, kebanyakan petani belum bisa menahan emosi untuk tidak berfoya-foya pada musim panen. “Bisa dilihat jika musim panen tiba, desa yang biasanya sepi bakalan rame dipenuhi kendaraan bermotor,” ungkap Kosasih. “Selesai musim panen biasanya ada di bulan sembilan, dan pada musim paceklik di bulan 12 petani kebanyakan sudah tidak punya uang untuk kebutuhan hidupnya karena uang habis untuk berfoya-foya di musim panen,” kata Kosasih menambahkan. Kondisi inilah segera dimanfaatkan oleh tengkulak. Tengkulak menggunakan sistem ijon dalam transaksinya. Untuk tanaman kopi yang masih berbunga, tengkulak biasanya membeli dengan harga sekitar Rp. 3 – 4 juta. Umumnya jasa tengkulak dipakai oleh petani yang membutuhkan uang cash.
Setelah musim panen kemudian tengkulak menjualnya ke pengumpul. Hati-hati terhadap tengkulak nakal. Ada tengkulak yang membuat kecurangan dengan mencampurkan biji yang masih basah dengan biji yang sudah kering. Pencampuran biji basah dengan biji keing bisa berpengaruh ke penimbangan. Akan bertambah berat tentunya.
Saluran Ketiga.
Musim paceklik dimanfaatkan juga oleh pengumpul di saluran ketiga. Saluran pemasaran ketiga dipakai oleh petani yang tidak membutuhkan uang cash untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya. Sehingga mereka tidak memakai jasa tengkulak. Petani umumnya memerlukan pupuk untuk tanaman kopinya. Disinilah peran pengumpul dibutuhkan. Kebanyakan pengumpul menawarkan jasa peminjaman pupuk. Untuk memperoleh pinjaman pupuk, petani harus setuju dengan syarat yang telah ditetapkan. Syaratnya, jika musim panen tiba petani harus menjual biji kopinya ke pengumpul yang memberi pinjaman pupuk. Berbeda dengan tengkulak, harga beli pengumpul disesuaikan dengan harga yang sedang berlaku di tingkat pengumpul. “Jumlah pengumpul di Lampung Barat sendiri sudah mencapai ratusan,” ungkap Misnan, salah satu pengumpul di Desa Tribudi Syukur.
Pengumpul lantas tak bisa langsung menjual kopinya ke tokek. Biji yang dijual ke tokek umumnya berkualitas ekspor. Pengumpul pun harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh tokek. Syarat-syarat tersebut diantaranya biji tidak berwarna hitam, biji harus dijemur di terpal atau di lantai, dan kadar air biji harus di bawah 20% dari kandungan air biji. Biji akan berwarna hitam jika terlalu lama di penimbunan. Penjemuran di terpal atau lantai agar aroma kopi tidak hilang, karena jika dijemur di tanah selain aroma kopi akan hilang, juga kopi nantinya akan berasa tanah. Jika demikian tidak akan disukai konsumen luar negeri. Untuk kadar air di bawah 20% untuk mengurangi biji terkena kaptis. Kaptis sejenis jamur atau cendawan yang menyerang biji yang bisa menurunkan kualitas kopi. Biasanya tokek meminta kadar air 13%.
Saluran Keempat.
Saluran pemasaran keempat dirasa lebih menguntungkan petani dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya. Ini terjadi karena tokek langsung membeli biji kopi petani. Petani harus tergabung dalam kelompok tani dan kemudian kelompok tani ini tergabung ke dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB). Ada beberapa perusahaan yang memakai saluran pemasaran ini, diantaranya adalah PT. Indo Cafco dan Nestle. Seperti halnya dengan pengumpul, petani juga harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Syarat PT. Indo Cafco, selain sama dengan syarat yang ditetapkan ke pengumpul, juga kelompok harus memenuhi kuota sebanyak 60 ton per musim. Harga beli berdasarkan harga yang sedang terjadi di tingkat tokek, jadi harga beli setiap hari bisa berubah. Syarat dari Nestle hampir sama dengan PT. Indo Cafco, namun untuk kuota kelompok, Nestle meminta 6 ton per minggu. Sedangkan untuk harga beli, Nestle menerapkan kontrak harga selama 1 minggu, jadi harga beli akan tetap selama 1 minggu. Nestle mempergunakan kopi Lampung untuk bahan salah satu produknya yaitu Nescafe.
Kosasih dan Misnan berharap selain PT. Indo Cafco dan Nestle ada perusahaan lain yang  masuk langsung ke petani. “Diharapkan perusahaan eksportir kopi lainnya bisa masuk ke petani, biar ada persaingan harga,” ujar Kosasih. Kosasih menambahkan, “Petani juga masih belum tahu informasi harga yang terjadi di tingkat tokek, diharapkan pemerintah bisa membantu membuka akses bagi petani untuk mengetahui harga yang sedang terjadi di sana”. Pasar ekspor Kopi Robusta Lampung sendiri sudah merambah ke beberapa negara di dunia seperti Italia, Jerman, Portugal, Rumania, Yunani, Amerika, Afrika Selatan, dan beberapa negara di Asia.




POLA PEMASARAN KOPI DI PROVINSI BALI
Perdagangan kopi asal Bali untuk tahun 2007 juga mengalami kenaikan, informasi dari Sub Dinas Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali hal ini karena meningkatnya permintaan dan produksi di daerah penghasil kopi di Bali. Kampanye petik merah yang dilakukan di sentra penghasil kopi di Bali membuahkan hasil produk yang memiliki kwalitas yang bagus. Petik merah biasanya untuk kebutuhan ekspor yang dipasarkan oleh petani lewat koperasi dan pengepul, sementara untuk buah kopi campuran dijual ke pasar bebas. Dari hasil penelitian, kebanyakan petani masih melakukan petik campur (merah dan yang segera masak) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan untuk segera mendapatkan uang kas menjadi penghambat usaha petik merah yang sebetulnya lebih menguntungkan bagi petani.
Rantai pemasaran dari kedua model panen bisa kita lihat dari model alur distribusi di bawah:
Dari diagram mata rantai pemasaran kopi diatas dibedakan menjadi 2 berdasarkan cara petik dalam memanen kopi di Bali.

a. Kopi petik hijau
Jenis kopi petik hijau dipasarkan dalam bentuk gelondongan basah dan kering. Untuk gelondongan hijau pembelian dilakukan di lahan oleh pengepul di desa. Sedangkan kopi kering dijual ke berbagai pengepul dan ke pasar umum. Gelondong petik hijau disortasi untuk memisahkan yang merah dan hijau, yang hijau dijual proses kering sementara yang merah dijual ke pabrik proses basah. Dari hasil proses kering ini dari pengepul dijual ke pengepul kecamatan dan pengrajin kopi lokal.
Sebagian besar petani masih menjual produk dalam bentuk gelondong hijau, kebutuhan dana secara tunai dalam waktu yang singkat menjadi alasan utama. Disamping itu daya tampung beberapa perusahaan yang masuk menerima produk gelondong merah terbatas. Produk yang dijual dalam bentuk gelondong hijau ini penentuan harga dilakukan oleh pengepul.





b. Kopi petik merah
Proses petik merah selama ini mendapat binaan dari dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan kabupaten Bangli. Pemasaran produk dari petani sebagian ditampung 4 koperasi yang tersebar di 4 desa yaitu koperasi Kertawaringi di desa Belantih, Koperasi Sari Murni desa Selulung, koperasi Triguna Karya desa Catur, Koperasi Bakti Yasa desa pengejaran. Koperasi ini dilengkapi dengan peralatan untuk prosesing.
Koperasi ini di bawah binaan UP3HP (Unit Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan) Kintamani. Unit dibawah dinas pertanian, perkebunan dan Kehutanan yang menangani pengolahan dan pemasaran kopi pada Subak Abian, meliputi 18 desa. Produksi kopi gelondong basah yang dihasilkan ada 1.209.725 kg. Produk kopi tersebut 14, 37 % dipasarkan ke PT. Tri Agung Mulaia ( TAM) 3.33%, PT. Indocafco dan Indecom 5.50%, CV.Tri Merta Buana, dan Pembelian Insidentil 5.5%. Sedangkan yang 83.63% masih belum tertampung dan dipasarkan ke pasaran yang lebih luas.
PT. Indocafco dan Indocom serta pembeli insidentil hanya menerima produk dari kelompok tani dalam bentuk kopi tanduk ( WP). Sedangkan PT Tri Agung Mulia dan UD. Merta Buana bisa menerima dalam bentuk gelondong maupun basah. Untuk menjamin kualitas dan kuantitas PT. Indocafco memberikan talangan modal 80% dan investasi alat prosesing. Sementara perusahaan lain melakukan prosesing sendiri – sendiri.
Kelebihan petik merah bobot kopi lebih berat dibandingkan dengan kopi petik hijau, hasil panen tidak sekali habis, karena petik dilakukan setiap 15 hari sekali. Namun kelemahannya adalah tidak tahan disimpan lama, karena setelah dipetik harus diproses untuk mendapatkan kualitas yang baik, membutuhkan tenaga panen yang banyak, dan tidak semua pengepul mau menerima gelondong merah.
Pihak dan peran aktor pemasaran/distribusi kopi di Bali
·         Petani
Peran petani dalam mata rantai pemasaran kopi adalah sebagai produsen. Produk yang dihasilkan petani sangat tergantung pada permintaan pasar atau konsumen. Produk yang dihasilkan berupa petik merah dan petik hijau.



·         Kelompok Tani
Kelompok tani berperan untuk mengorganisir anggota didalam melakukan produksi kopi. Untuk wilayah kintamani ada 4 kelompok tani yang memiliki unit usaha koperasi yang memproses gelondong merah menjadi kering tanduk (WP). Koperasi tersebut dilengkapi dengan peralatan untuk prosesing menjadi WP. Proses pengolahan kopi dilakukan secara terpusat untukmenjaga kwalitas kopi yang dihasilkan. Peralatan tersebut berasal dari bantuan dinas pertanian dan perkebunan Kabupaten Bangli maupun Propinsi Bali, serta bantuan dari beberapa perusahaan terutama Indocafco yang langsung menjalin kerjasama dengan petani.
Di dalam koperasi mereka memiliki SOP untuk proses pengolahan kopi dari anggota. Selain itu koperasi juga memiliki divisi Satuan Pengawas Mutu yang melakukan kontrol mulai dari panen sampai dengan “cup tester” untuk menjaga kwalitas kopi yang dihasilkan. Uji cita rasa ini dilakukan setahun tiga kali (Juni-September)
Pengepul
Pengepul wilayah ini terbagi dalam beberapa tingkatan. Keberadaan pengepul ini mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi. Mereka membangun ikatan dengan pengepul dibawahnya. Di desa Belantih terdapat kurang lebih 4 – 10 pengepul, untuk mendapatkan bahan baku biasanya mereka berkeliling sampai ke desa lain.
Di tingkat kecamatan terdapat pengepul yang mengorganisir/menerima produk dari pengepul tingkat desa. Pembagian wilayah tidak ada aturan secara detail untuk masing – masing pengepul. Namun pengepul tingkat kecamatan memiliki jaringan yang kuat sampai ke desa-desa di kecamatan maupun dari luar kecamatan. Bentuk ikatan yang dibuat adalah dengan melakukan investasi modal ke pengepul desa. Produk dari pengepul kecamatan ini didistribusikan ke pengepul kabupaten atau langsung dijual ke ekportir atau perusahaan, namun jumlahnya masih terbatas.
Pengepul tingkat kabupaten menerima produk dari pengepul kecamatan dan desa. Mereka memiliki anak buah di masing – masing wilayah untuk menampung produk dari pengepul dan petani langsung. Produknya didistribusikan ke berbagai perusahaan diluar pulau Bali atau ke perusahaan eksportir di Bali atau diluar . Pusat pengepul kopi dari wilayah Bangli adalah di Kabupaten Buleleng, disini ada 10 pengepul tingkat kabupaten. Sebagian besar merupakan anak buah perusahaan ekportir. Mereka menyebar anak buahnya untuk mengumpulkan produk dari berbagai wilayah.
Pengepul tingkat kabupaten ini memiliki beberapa peralatan untuk prosesing, bentuk produk yang diterima adalah semua produk dari petani. Disamping menerima produk, mereka juga menjual produk dalam bentuk kering ke pengrajin tingkat desa.
·         Buyer
Ada satu perusahaan besar yaitu PT. Tri Agung Mulia perusahaan ini bergerak dalam bidang pemasaran ekspor hasil tanaman perkebunan. Perusahaan ini bekerjasama dengan pemerintah kabupaten Bangli untuk pengelolaan pabrik prosesing di Mangi Kecamatan Kintamani. Daya tampungnya 100 ton/hari. Area kerjanya meliputi seluruh wilayah propinsi Bali. untuk menjaga kontiyuitas produk perusahaan ini juga menampung produk dari luar pulau Bali. seperti dari Nusa Tenggara.
Negara tujuan ekpor adalah Singapura, Jepang, Uni Emirat Arab, Australia, Amerika, dan Australia. Pengiriman dilakukan minimal sebulan sekali rata – rata 18 ton. Dalam pengiriman biasanya tidak hanya satu produk tetapi dibarengkan dengan produk lain. Agar biayanya lebih murah.
·         Dinas/Instansi Terkait
Peran dinas pertanian kabupaten ini cukup besar, bukan hanya dinas tingkat kapupaten tetapi juga tingkat propinsi. Peran mereka adalah meningkatkan kemampuan teknis budidaya dan pengelolaan pasca panen, Membangun kerjasama dengan berbagai perusahaan ekportir maupun lembaga penelitian untuk memecahkan permasalah – permasahan teknis. Selain itu juga memfasilitasi untuk melibatkan petani kopi melakukan pameran disetiap ada kesempatan. Mengkampanyekan produk kopi melalui media publikasi.







Ruang lingkup kerjasama pemasaran meliputi
1. Penyediaan rakitan teknologi dan pembinaan khususnya melalui penerapan
teknologi panen dan peningkatan kualitas produk,
2. Peningkatan kemampuan SDM anggota Subak Abian dalam manajemen kopi
arabika,
3. Peningkatan pemasaran kopi arabika berkualitas dan hasil olahannya,
4. Peningkatan konsumsi kopi arabika olahan berkualitas didalam negeri melalui
kegiatan promosi.

Sedang ruang lingkup dalam pembinaan dan pengembangan agribisnis kopi arabika
Kintamani, meliputi :
1. Penyediaan rakitan teknologi dalam bentuk penyediaan bahan tanaman unggul,
panen dan pasca panen serta kegiatan lain yang mendukung,
 2. Pembinaan teknis dalam penerapan teknologi, khususnya dalam pengembangan agribisnis kopispecialty organik melalui perolehan sertifikat organik dan perlindungan hak atas indikasi geografis,
3. Peningkatan kemampuan SDM anggota subak abian dalam manajemen usaha
kopi arabika.
Realisasi kerjasama pemasaran ini berupa pemasaran kopi bubuk melalui Koperasi Pegawai PPKKI yang akan ditindaklanjuti dengan pemasaran selain melalui PPKKI juga melalui KSPPI dengan perbaikan packingnya. Sedang realisasi kerjasama pembinaan teknis berupa bimbingan teknologi perbaikan produktivitas dan kualitas kopi arabika di Kabupaten Bangli yang akan ditindaklanjuti dengan penetapan karakteristik kopi arabika Bangli untuk memenuhi konsumen dalam dan luar negeri.Perkembangan penting dari model Kintamani adalah tengkulak sudah menjual kopinya kepada koperasi petani kopi.






POLA PEMASARAN KOPI DI KABUPATEN MANGGARAI
Petani kopi di kabupaten Manggarai menjalankan budidaya kopi sejak turun temurun. Kopi tumbuh di wilayah hutan rakyat dan perkebunan milik masyarakat. Walaupun kopi telah diusahakan sejak jaman penjajahan Portugis, pada kenyataan di lapangan, petani memiliki nilai tawar yang rendah. Pengepul menghargai kopi petani dengan cara yang berbeda-beda, kebanyakan petani dengan kebun ukuran kecil mengalami masalah dalam hal timbangan di depan pengepul, sementara untuk petani besar tidak banyak mengalami masalah.
Kelompok tani di wilayah perkebunan kopi di desa penghasil kopi seperti Watu Arus, Arus dan lainnya di kecamatan Poco Ranaka memiliki kelompok tani setelah pihak Delsos dari Ruteng bekerjasama dengan VECO membentuk kelompok tani untuk produksi. Sebelumnya pernah ada KUD tetapi tidak berkembang. Usaha kelompok tani adalah untuk simpan pinjam dan pemberian kredit usaha, sementara untuk pemasaran kopi masih dalam tahap awal dari rencana ke depan.
Di tingkat desa hanya terdapat dua orang pengepul, sementara untuk kecamatan tidak ada pengepul karena letak kecamatan berdekatan dengan ibukota kabupaten. Pengepul di tingkat desa melakukan penyortiran, kopi berkwalitas akan di kirim ke pedagang di kota sementara kopi yang kurang baik kwalitasnya dipakai untuk konsumsi lokal.














POLA PEMASARAN PROVINSI NANGGRO ACEH DARUSSALAM
Penulisan ini menganalisis efisiensi tataniaga kopi arabika yang diusahakan di provinsi Nanggro Aceh Darussalam sebagai sentra produksi kopi arabika di Indonesia) bertujuan (1) untuk menganalisis saluran tataniaga kopi arabika, (2) menganalisis tingkat efisiensi tataniaga kopi arabika, (3) menganalisis hubungan saling pengaruh (kausalitas) antara harga kopi satu daerah dengan harga kopi arabika nasional, dan harga kopi arabika terminal New York.
              Berdasarkan hasil penelitian, ada dua saluran tataniaga di lokasi penelitian Nanggro Aceh Darussalam, yaitu :
(1) petani -> pedagang pengumpul I -> pedagang pengumpul II -> eksportir,
(2) petani -> pedagang pengumpul I -> eksportir.
Pendekatan S-C-P menyatakan bahwa (1) struktur pasar cenderung tidak sempurna karena merupakan pasar oligopsoni dan monopsoni, (2) perilaku pasar ditunjukkan dengan elastisitas harga yang kurang dari satu, (3) penampilan pasar menyatakan bahwa marjin pasar yang relatif besar dan didominasi oleh share keuntungan yang besar dan tidak merata. Dari pendekatan ini dapat ditunjukkan bahwa tataniaga kopi arabika tidak efisien. Sedangkan untuk hubungan saling pengaruh (kausalitas), tidak ada satupun variabel yang mempunyai hubungan saling pengaruh.







BAB III
PENUTUP
Peran lembaga penelitian seperti Pusat Penelitian Kopi dan kakao Indonesia (PPKI), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI) dan pusat penelitian universitas di setiap daerah penghasil kopi perlu mengembangkan diri dalam usaha budidaya dan pemasaran kopi di Indonesia.
Pengembangan infrastruktur, pendidikan dan sarana informasi menjadi penting untuk usaha perkebunan kopi, karena kopihanya bisa tumbuh di daerah tinggi, dan kebanyakan wilayah ini masih terbatas sarana informasi, infrastruktur dan pendidikan. Hal ini menghambat usaha pengembangan budidaya dan pemasaran kopi, karena kebanyakan petani masih terbatas pengetahuan pemasarannya.
Pertanyaan awal dari buyer adalah dimana dan berapa ketinggian letak perkebunan kopi berada. Hal ini sangat berpengaruh pada kwalitas kopi yang dihasilkan. Informasi awal ini menjadi acuan untuk meneruskan kepada masalah kwalitas, kwantitas dan kontinuitas produksi. Beberapa buyer telah berusaha untuk mengembangkan bisnis kopi bukan hanya mengambil biji kopi, tetapi telah membangun roaster di tingkat lokal, sehingga harapan ke depan diversifikasi produk kopi akan semakin beragam dari produk lokal yang dikembangkan. Selama ini proses roaster masihdilakukan dalam skala industri rumah tangga yang memproduksi kopi bubuk.
Konsumsi perkapita penduduk Indonesia untuk meminum kopi semakin besar dan cakupan wilayah semakin luas. Kesempatan untuk memproduksi kopi dengan diversifikasi yang ada akan membantu dalam usaha untuk mengembangkan usaha tani dari kelompok tani di masing-masing daerah.

1 komentar:

  1. Halo, nama saya Yusi Retnowati dari Indonesia, tolong saya sarankan semua orang di sini harus sangat berhati-hati, karena ada begitu banyak kreditor pinjaman palsu di internet, tapi mereka masih yang asli di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah scammed oleh 8 kreditur pinjaman yang berbeda, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang karena berhutang.

    Saya hampir menyerah sampai saya meminta saran dari seorang teman yang mengenalkan saya pada pemberi pinjaman pinjaman asli dan perusahaan yang sangat andal yaitu Karen Mark Financial Loan Company yang mendapat pinjaman saya sebesar 500 juta rupiah Indonesia (lima ratus juta rupiah di Indonesia) Kurang Dari 24 jam Tanpa tekanan atau tekanan pada tingkat bunga rendah 2%. Saya sangat terkejut saat memeriksa rekening bank saya dan menemukan jumlah pinjaman yang saya minta telah ditransfer ke rekening bank saya tanpa ada penundaan atau kekecewaan, jadi saya berjanji akan membagikan kabar baik tersebut sehingga orang dapat memperoleh pinjaman dengan mudah tanpa tekanan dari Ibu Karen Mark

    Saya ingin Anda mempercayai Ibu Karen Mark dengan sepenuh hati karena dia sangat membantu dalam hidup saya. Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi perusahaan melalui email: (karenmarkfinancialloancompany@gmail.com)
    Anda juga bisa menghubungi saya melalui email saya, jika Anda merasa sulit mengajukan pinjaman dari perusahaan. (Yusiretnowati010@gmail.com). Tuhan tolong dan hati-hati

    BalasHapus

 

Total Tayangan Halaman

sanghyang batara ismaya Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template